Aku
baru saja membuka pintu kamar kost ku ketika kudengar suara teriakan histeris
dari kamar sebelahku, kamar Mbak Ika. Segera saja aku ke kamarnya dan ku buka
pintu kayu model lama itu. Mbak Ika sedang terduduk lesu di lantai sambil
memegang handphone nya. Matanya basah
dan pipinya bersimbah air mata.
“Mbak?? Kamu kenapa???” segera ku
hampiri teman kost yang dua tahun lebih tua daripada aku itu.
“Huhuhu... Aku putus sama Galang,
Ya...” katanya sambil terus tersedu. Sekarang ia memeluk lututnya dan
menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Yah, lagi-lagi kasus putus
cinta terjadi di Kost Princess ini. Sebelumnya, Mbak Kinan, kemudian disusul
Mbak Ren dan Mbak Meta. Terakhir Mbak Ika.
“Jadi gimana ceritanya, Mbak?
Bukannya kamu sama Mas Galang baik-baik aja selama ini?” tanyaku lirih. Masih
takut pertanyaan ini membuat Mbak Ika makin sedih, but I can’t bear with my curiousity.
“Jadi...Jadi sebenernya selama ini
tuh orangtuanya Galang nggak setuju kalo Galang pacaran sama aku. Alasannya
karena aku orang Sumatera. Konyol kan?? Where
the hell are they come from? Hari gini masih rasis aja... Lagian aku kan
cuma pendatang juga di Palembang. Aku aslinya juga orang Jawa Tengah kok. Why this have to happen to me
Gooooood... Whyyyyy.........” dia
bercerita sambil sesunggukan dan meratap. Aku harus setengah mati menahan tawa
melihat tingkahnya yang over reacted
itu. Sekarang badannya merosot di lantai di posisi tengkurap.
“Assalamu’alaikum. Mbak Ikaaaa.” terdengar
suara Mbak Ren, baru saja pulang.
“Wa’alaikumussalam.” jawabku dan Mbak
Ika.
Tampak wajah Mbak Ren di celah daun
pintu yang terbuka. Dengan wajahnya yang tetap datar ia bertanya “kamu kenapa”
pada Mbak Ika. Mbak Ika dengan mata yang masih basah menjawab tanpa suara,
hanya mulutnya saja yang bergerak mengucapkan kata “putus”. Dua detik hening,
kemudian sontak Mbak Ren tertawa terbahak-bahak.
Dengan ekspresi evil-nya dan kedua telapak tangan mengepal senang, Mbak Ren yang
memang vokalis band itu menggelakkan tawa menggelegar, “HAHAHAHA YESSS! AKU ADA
TEMENNYA JOMBLO SATU LAGI HAHAHAHAHAHA!!!”
Aku dan Mbak Ika
berpandang-pandangan, mengulum senyum lalu ikut terbahak-bahak. “Kalian sadar
nggak sih kalo di kosan ini yang masih belum jomblo cuma Endry?” celetuk Mbak
Ren setelah tawa kami reda.
“Iya ya... Kapan putusnya itu anak
ya?” Mbak Ika menimpali.
---
Aku jadi teringat kejadian sekitar
sebulan yang lalu. Tiba-tiba Mbak Meta yang kamarnya di seberang kamarku,
mendadak keluar kamar setelah seharian mengurung diri. Matanya bengkak. Baru
saja aku membuka mulutku untuk bertanya apa yang terjadi pada matanya, ia
menyambar sambil berlalu menuju dapur, “Ra
sah takon. Nyong nembe putus, Ya. Putus... Putus temenan kiye... Huhuhuhu....”
(Nggak usah tanya. Aku baru putus, Ya. Putus... Putus beneran ini...
Huhuhuhu....)
“Ya ampun...” gumamku.
Mbak Meta membasuh wajahnya di
wastafel, kemudian mengeringkannya. “Wisnu selingkuh maning. Aku udah capek. Capek beneran.” dia membalikkan wajahnya
menghadap padaku.
Aku mendecakkan lidah mendengar
alasan putusnya. “Cowok selingkuh mah
tinggalin aja Mbak, ngapain dipertahanin. Udah, nggak usah ditangisin juga.
Mbak Meta udah bener kok dengan mutusin dia. Masih banyak cowok lain yang lebih
baik daripada Wisnu itu.”
“Iya. Tapi memangnya yang lebih baik
dari dia mau sama aku?” jawabnya sedikit ketus, sambil berjalan menuju kamarnya
kemudian mulai mengurung diri lagi. Aku hanya mengedikkan bahu melihat
tingkahnya.
---
Mundur lagi beberapa bulan
sebelumnya, Mbak Kinan yang kamarnya di lantai atas pulang dari KKN di daerah
Jawa Timur. Jelas kami se-kost menyambutnya dengan meriah karena PASTI dia bawa
makanan. Benar saja dia membawa sekardus rambutan yang ia panen dari Pati,
kampung halamannya. Kemudian yang terjadi adalah tentu saja aku, Ocha, Icha,
Mbak Meta, Mbak Fidya, Tiwi, dan Mbak Ren melingkar di depan televisi 14 inch
di lantai dua sambil menggasak buah rambutan sekardus itu.
“Panen sendiri, Mbak?” tanya Mbak
Ren.
“He eh.”
“Berarti mudik? Ketemu pacar dong?”
tanya Tiwi.
Tangan Mbak Kinan yang tengah
mengupas kulit rambutan mendadak berhenti. Ia termenung sebentar. “Mantan
maksudnya?” ia justru bertanya balik.
“HAH??? Kamu putus, Kin??” tanya
Mbak Fidya histeris.
“Iya, Fid.... Hahahaha....ha...
Hngggggg..... Aku putus.... Hnggg.....” keluhnya sambil mengerang dengan nada
sedih yang biasa disuarakan cewek saat sedih. Wajahnya yang manis dihiasi
kerut-kerut aneh karena ekspresi yang dibuatnya.
“Ya ampun, Kin. Kalian kan pacaran udah
lama banget, dari zaman SMP, jaman ra
penak. Udah tujuh tahun kan?” (Ya ampun, Kin. Kalian kan pacaran udah lama
banget, dari zaman SMP, zaman nggak enak. Udah tujuh tahun kan?)
“Iya, Fid. But this is unbearable. Dia tuh cemburu pas aku KKN. Ya you know lah ya pas KKN kan otomatis aku
nggak ada banyak waktu sama dia, sedangkan aku di sana juga banyak temen cowok.
Aku paham sih kalo dia minta putus dari aku.” Mbak Kinan kembali melanjutkan
mengupas rambutan.
Ya ampun, batinku.
---
“Yaudah, Mbak Ika. Sekarang kamu
gunakan waktu kamu buat memperbaiki diri aja. Siapa tau nanti malah jodoh yang
nggak disangka-sangka cepet datengnya.” Ocha –kembarannya Icha menasehati
dengan bijak setelah ia mendengar Mbak Ika baru saja putus.
“Iya, Cha... Galang itu emang pernah
bilang kalo dia suka sama cewek yang pake jilbabnya syar’i.” keluh Mbak Ika.
“TUUUH KAAAAN....” sontak aku, Ocha
dan Icha berseru.
Aku baru menyadari, banyak sekali
hal yang bisa dijadikan excuse bagi
seseorang untuk putus. Mungkin remaja dan dewasa muda zaman sekarang jauh lebih
kreatif daripada remaja dan dewasa muda tahun 80an. Zaman sekarang gampang
banget bikin alasan untuk putus, ya katanya nggak mau pacaran melainkan pengen
langsung nikah, ya nggak kuat LDR, ya fokus kuliah, ya kucingnya mati jadi dia
sedih dan nggak mau melampiaskan kesedihan ke pacarnya, blablabla...
Aku sendiri sudah hampir lima tahun
berhenti pacaran. Bukannya nggak ada yang suka atau deketin. Ada sih, tapi buat
apa kalo mereka cuma datang dan pergi begitu aja? Buang-buang waktu menurutku. Memangnya
masalah kalo nggak punya pacar? I mean,
hey, life must go on, right? Take it or leave it.
“Yaaa. Griyaaa.” suara Tiwi yang memanggilku dari lantai dua
membuyarkan pikiranku.
“Kenapa Wi?” aku balas berteriak
dari dalam kamar.
“Main sambung lagu sini di atas sama
Kak Ren, aku, Kak Livia, sama Anya.”
“Okay.
Wait me.”
---
“Hidup tanpa cinta bagai taman...”
“...tak berbunga...”
“Haai begitulah kata para
pujangga...”
“Ooh begitulah, eh kata para
pujanggaaa....”
Kami berlima bernyanyi dan
menggoyangkan tangan nggak karuan di dalam kamar Tiwi yang hanya menyisakan
ruang kosong 2x1,5 meter itu. Maklum, Tiwi adalah mahasiswi Tata Busana. Di
kamarnya sudah ada satu mesin jahit, dua rak, satu kasur, satu lemari dan satu
meja. Terhitung cukup padat.
“Serrrr.... Digoyang yoook... Eh,
eh, eh...” Mbak Livia mulai beranjak dari duduknya karena terlalu menjiwai
nyanyiannya.
“Wuhuuu...”
“Kak Livia semangat banget jogetnya
sampe berdiri gitu....” Ocha mengomentari.
Mbak Livia malah sibuk mencari
sesuatu di tempat ia duduk. Kemudian ia memandangi kami semua. “Aku ngedudukin
jarum pentulmu, Wi.” katanya pada Tiwi sambil memperlihatkan selusin jarum
pentul yang ia cabut dari celana jins bagian belakangnya.
Sontak kami semua tergelak tanpa
terkendali. “Hahahahaha aku kirain kamu mau joget loh tadi itu, Liv. Taunya mau
berdiri gara-gara pantat ketusuk jarum pentul, hahahahaha.” Mbak Ren
terbahak-bahak. Cukup lama sampai akhirnya kami bisa menutup kembali kotak
tertawa kami. Lalu kami memutuskan untuk berganti permainan, karena sudah mulai
bosan dan lagi semua wajah sudah penuh dengan coretan putih bedak bayi.
“Main poker aja yuk.” usulku. Semua
menyetujuinya, dan akhirnya kami kembali melingkar. Kali ini di ruang terbuka,
di dekat tempat jemuran yang cukup lapang. Kami menggelar karpet plastik,
kemudian duduk di atasnya, bermandikan kegelapan malam yang kebetulan sedang
cukup hangat. Bintang gemintang di langit Jogja tampak jelas. Tumben bintang
yang bertaburan banyak malam ini. Tapi tetap saja, sumber penerangan kami untuk
melihat kartu hanya lampu 5 watt yang terpasang di depan pintu balkon ini.
“Kenapa sih di kost ini bisa-bisanya
semua orang jomblo?” Tiwi mengeluarkan kartu wajik berangka 10.
“Kecuali Mbak Endry.” ralatku sambil
memilih kartu mana yang akan ku keluarkan.
“Paling bentar lagi juga putus.” tukas
Anya sambil meneguk es coffeemix nya.
“Hus. Doain orang yang baik-baik
dong, Nya.” seperti biasa, Ocha memberi nasehat.
“Kost ini punya kutukan, kali.
Kutukan jomblo.” sambar Mbak Ren seraya menunjukkan kartu wajik berangka 2. Ah,
batal sudah rencanaku. Too fast, sist.
Kami semua terdiam, saling
berpandangan berganti-gantian. Lalu kami semua tertawa lagi. Konyol. But that is so possible, dude. Princess’s
single curse.
“Nah! Iya! Ini pasti kutukan dari
ibu kost. Biar kita nggak pacaran terus. Bukannya ini justru kutukan yang baik?
Lagian pacaran kan malah bikin maksiat. Kemungkinan untuk berbuat dosa makin
besar kalo kita punya pacar. Right?
Ambil aja sisi posiifnya. Kalo aku sih, semakin banyak mantan semakin malu. Apa
kata suamiku nanti? Kasihan kalo suamiku udah menjaga dirinya dan hatinya
sedangkan aku enggak.” Aku memecah keheningan. Kukeluarkan kartu Queen sekop
sambil memamerkan cengiranku pada semuanya. Itu kartu terakhirku. I win.
japanese sex dolls,japanese sex dolls,japanese sex dolls,japanese sex dolls
BalasHapusrealistic dildo,dildo,sex chair,dildos
BalasHapus