10.8.17

Kutukan Jomblo Kost Princess


Aku baru saja membuka pintu kamar kost ku ketika kudengar suara teriakan histeris dari kamar sebelahku, kamar Mbak Ika. Segera saja aku ke kamarnya dan ku buka pintu kayu model lama itu. Mbak Ika sedang terduduk lesu di lantai sambil memegang handphone nya. Matanya basah dan pipinya bersimbah air mata.
            “Mbak?? Kamu kenapa???” segera ku hampiri teman kost yang dua tahun lebih tua daripada aku itu.
            “Huhuhu... Aku putus sama Galang, Ya...” katanya sambil terus tersedu. Sekarang ia memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Yah, lagi-lagi kasus putus cinta terjadi di Kost Princess ini. Sebelumnya, Mbak Kinan, kemudian disusul Mbak Ren dan Mbak Meta. Terakhir Mbak Ika.
            “Jadi gimana ceritanya, Mbak? Bukannya kamu sama Mas Galang baik-baik aja selama ini?” tanyaku lirih. Masih takut pertanyaan ini membuat Mbak Ika makin sedih, but I can’t bear with my curiousity.
            “Jadi...Jadi sebenernya selama ini tuh orangtuanya Galang nggak setuju kalo Galang pacaran sama aku. Alasannya karena aku orang Sumatera. Konyol kan?? Where the hell are they come from? Hari gini masih rasis aja... Lagian aku kan cuma pendatang juga di Palembang. Aku aslinya juga orang Jawa Tengah kok. Why this have to happen to me Gooooood...  Whyyyyy.........” dia bercerita sambil sesunggukan dan meratap. Aku harus setengah mati menahan tawa melihat tingkahnya yang over reacted itu. Sekarang badannya merosot di lantai di posisi tengkurap.
            “Assalamu’alaikum. Mbak Ikaaaa.” terdengar suara Mbak Ren, baru saja pulang.
            “Wa’alaikumussalam.” jawabku dan Mbak Ika.
            Tampak wajah Mbak Ren di celah daun pintu yang terbuka. Dengan wajahnya yang tetap datar ia bertanya “kamu kenapa” pada Mbak Ika. Mbak Ika dengan mata yang masih basah menjawab tanpa suara, hanya mulutnya saja yang bergerak mengucapkan kata “putus”. Dua detik hening, kemudian sontak Mbak Ren tertawa terbahak-bahak.
            Dengan ekspresi evil-nya dan kedua telapak tangan mengepal senang, Mbak Ren yang memang vokalis band itu menggelakkan tawa menggelegar, “HAHAHAHA YESSS! AKU ADA TEMENNYA JOMBLO SATU LAGI HAHAHAHAHAHA!!!”
            Aku dan Mbak Ika berpandang-pandangan, mengulum senyum lalu ikut terbahak-bahak. “Kalian sadar nggak sih kalo di kosan ini yang masih belum jomblo cuma Endry?” celetuk Mbak Ren setelah tawa kami reda.
            “Iya ya... Kapan putusnya itu anak ya?” Mbak Ika menimpali.
---
            Aku jadi teringat kejadian sekitar sebulan yang lalu. Tiba-tiba Mbak Meta yang kamarnya di seberang kamarku, mendadak keluar kamar setelah seharian mengurung diri. Matanya bengkak. Baru saja aku membuka mulutku untuk bertanya apa yang terjadi pada matanya, ia menyambar sambil berlalu menuju dapur, “Ra sah takon. Nyong nembe putus, Ya. Putus... Putus temenan kiye... Huhuhuhu....” (Nggak usah tanya. Aku baru putus, Ya. Putus... Putus beneran ini... Huhuhuhu....)
            “Ya ampun...” gumamku.
            Mbak Meta membasuh wajahnya di wastafel, kemudian mengeringkannya. “Wisnu selingkuh maning. Aku udah capek. Capek beneran.” dia membalikkan wajahnya menghadap padaku.
            Aku mendecakkan lidah mendengar alasan putusnya. “Cowok selingkuh mah tinggalin aja Mbak, ngapain dipertahanin. Udah, nggak usah ditangisin juga. Mbak Meta udah bener kok dengan mutusin dia. Masih banyak cowok lain yang lebih baik daripada Wisnu itu.”
            “Iya. Tapi memangnya yang lebih baik dari dia mau sama aku?” jawabnya sedikit ketus, sambil berjalan menuju kamarnya kemudian mulai mengurung diri lagi. Aku hanya mengedikkan bahu melihat tingkahnya.
---
            Mundur lagi beberapa bulan sebelumnya, Mbak Kinan yang kamarnya di lantai atas pulang dari KKN di daerah Jawa Timur. Jelas kami se-kost menyambutnya dengan meriah karena PASTI dia bawa makanan. Benar saja dia membawa sekardus rambutan yang ia panen dari Pati, kampung halamannya. Kemudian yang terjadi adalah tentu saja aku, Ocha, Icha, Mbak Meta, Mbak Fidya, Tiwi, dan Mbak Ren melingkar di depan televisi 14 inch di lantai dua sambil menggasak buah rambutan sekardus itu.
            “Panen sendiri, Mbak?” tanya Mbak Ren.
            “He eh.”
            “Berarti mudik? Ketemu pacar dong?” tanya Tiwi.
            Tangan Mbak Kinan yang tengah mengupas kulit rambutan mendadak berhenti. Ia termenung sebentar. “Mantan maksudnya?” ia justru bertanya balik.
            “HAH??? Kamu putus, Kin??” tanya Mbak Fidya histeris.
            “Iya, Fid.... Hahahaha....ha... Hngggggg..... Aku putus.... Hnggg.....” keluhnya sambil mengerang dengan nada sedih yang biasa disuarakan cewek saat sedih. Wajahnya yang manis dihiasi kerut-kerut aneh karena ekspresi yang dibuatnya.
            “Ya ampun, Kin. Kalian kan pacaran udah lama banget, dari zaman SMP, jaman ra penak. Udah tujuh tahun kan?” (Ya ampun, Kin. Kalian kan pacaran udah lama banget, dari zaman SMP, zaman nggak enak. Udah tujuh tahun kan?)
            “Iya, Fid. But this is unbearable. Dia tuh cemburu pas aku KKN. Ya you know lah ya pas KKN kan otomatis aku nggak ada banyak waktu sama dia, sedangkan aku di sana juga banyak temen cowok. Aku paham sih kalo dia minta putus dari aku.” Mbak Kinan kembali melanjutkan mengupas rambutan.
            Ya ampun, batinku.
---
            “Yaudah, Mbak Ika. Sekarang kamu gunakan waktu kamu buat memperbaiki diri aja. Siapa tau nanti malah jodoh yang nggak disangka-sangka cepet datengnya.” Ocha –kembarannya Icha menasehati dengan bijak setelah ia mendengar Mbak Ika baru saja putus.
            “Iya, Cha... Galang itu emang pernah bilang kalo dia suka sama cewek yang pake jilbabnya syar’i.” keluh Mbak Ika.
            “TUUUH KAAAAN....” sontak aku, Ocha dan Icha berseru.
            Aku baru menyadari, banyak sekali hal yang bisa dijadikan excuse bagi seseorang untuk putus. Mungkin remaja dan dewasa muda zaman sekarang jauh lebih kreatif daripada remaja dan dewasa muda tahun 80an. Zaman sekarang gampang banget bikin alasan untuk putus, ya katanya nggak mau pacaran melainkan pengen langsung nikah, ya nggak kuat LDR, ya fokus kuliah, ya kucingnya mati jadi dia sedih dan nggak mau melampiaskan kesedihan ke pacarnya, blablabla...
            Aku sendiri sudah hampir lima tahun berhenti pacaran. Bukannya nggak ada yang suka atau deketin. Ada sih, tapi buat apa kalo mereka cuma datang dan pergi begitu aja? Buang-buang waktu menurutku. Memangnya masalah kalo nggak punya pacar? I mean, hey, life must go on, right? Take it or leave it.
            “Yaaa. Griyaaa.” suara  Tiwi yang memanggilku dari lantai dua membuyarkan pikiranku.
            “Kenapa Wi?” aku balas berteriak dari dalam kamar.
            “Main sambung lagu sini di atas sama Kak Ren, aku, Kak Livia, sama Anya.”
            “Okay. Wait me.
---
            “Hidup tanpa cinta bagai taman...”
            “...tak berbunga...”
            “Haai begitulah kata para pujangga...”
            “Ooh begitulah, eh kata para pujanggaaa....”
            Kami berlima bernyanyi dan menggoyangkan tangan nggak karuan di dalam kamar Tiwi yang hanya menyisakan ruang kosong 2x1,5 meter itu. Maklum, Tiwi adalah mahasiswi Tata Busana. Di kamarnya sudah ada satu mesin jahit, dua rak, satu kasur, satu lemari dan satu meja. Terhitung cukup padat.
            “Serrrr.... Digoyang yoook... Eh, eh, eh...” Mbak Livia mulai beranjak dari duduknya karena terlalu menjiwai nyanyiannya.
            “Wuhuuu...”
            “Kak Livia semangat banget jogetnya sampe berdiri gitu....” Ocha mengomentari.
            Mbak Livia malah sibuk mencari sesuatu di tempat ia duduk. Kemudian ia memandangi kami semua. “Aku ngedudukin jarum pentulmu, Wi.” katanya pada Tiwi sambil memperlihatkan selusin jarum pentul yang ia cabut dari celana jins bagian belakangnya.
            Sontak kami semua tergelak tanpa terkendali. “Hahahahaha aku kirain kamu mau joget loh tadi itu, Liv. Taunya mau berdiri gara-gara pantat ketusuk jarum pentul, hahahahaha.” Mbak Ren terbahak-bahak. Cukup lama sampai akhirnya kami bisa menutup kembali kotak tertawa kami. Lalu kami memutuskan untuk berganti permainan, karena sudah mulai bosan dan lagi semua wajah sudah penuh dengan coretan putih bedak bayi.
            “Main poker aja yuk.” usulku. Semua menyetujuinya, dan akhirnya kami kembali melingkar. Kali ini di ruang terbuka, di dekat tempat jemuran yang cukup lapang. Kami menggelar karpet plastik, kemudian duduk di atasnya, bermandikan kegelapan malam yang kebetulan sedang cukup hangat. Bintang gemintang di langit Jogja tampak jelas. Tumben bintang yang bertaburan banyak malam ini. Tapi tetap saja, sumber penerangan kami untuk melihat kartu hanya lampu 5 watt yang terpasang di depan pintu balkon ini.
            “Kenapa sih di kost ini bisa-bisanya semua orang jomblo?” Tiwi mengeluarkan kartu wajik berangka 10.
            “Kecuali Mbak Endry.” ralatku sambil memilih kartu mana yang akan ku keluarkan.
            “Paling bentar lagi juga putus.” tukas Anya sambil meneguk es coffeemix nya.
            “Hus. Doain orang yang baik-baik dong, Nya.” seperti biasa, Ocha memberi nasehat.
            “Kost ini punya kutukan, kali. Kutukan jomblo.” sambar Mbak Ren seraya menunjukkan kartu wajik berangka 2. Ah, batal sudah rencanaku. Too fast, sist.
            Kami semua terdiam, saling berpandangan berganti-gantian. Lalu kami semua tertawa lagi. Konyol. But that is so possible, dude. Princess’s single curse.

            “Nah! Iya! Ini pasti kutukan dari ibu kost. Biar kita nggak pacaran terus. Bukannya ini justru kutukan yang baik? Lagian pacaran kan malah bikin maksiat. Kemungkinan untuk berbuat dosa makin besar kalo kita punya pacar. Right? Ambil aja sisi posiifnya. Kalo aku sih, semakin banyak mantan semakin malu. Apa kata suamiku nanti? Kasihan kalo suamiku udah menjaga dirinya dan hatinya sedangkan aku enggak.” Aku memecah keheningan. Kukeluarkan kartu Queen sekop sambil memamerkan cengiranku pada semuanya. Itu kartu terakhirku. I win.

2 komentar: