29.12.16

Ketika Hati Terjatuh

Benda terjatuh karena gravitasi
Hati terjatuh karena kamu, dan Dia yang menciptakan kamu

Benda terjatuh maka harus dipungut
Lalu bagaimana jika hati "terjatuh"?
Apakah dia bisa bangkit sendiri?
Bisa.

Terjatuh atau tidak, itu Tuhan yang mengatur. Bisa bangkit atau tidak, Tuhan pula yang mengatur.
Lalu aku harus apa jika hati terjatuh?
Sedangkan hati tidak tahu apakah jatuhnya kali itu baik
ataukah buruk
Membawa cerita
atau membawa derita
Hati tidak tahu

Yang dia tahu hanyalah

dia telah terjatuh.

27.10.16

Tentang Donquixote Doflamingo Kecil

Hari ini sebenernya gue ada janji buat ngerjain proposal skripsi di perpustakaan Pascasarjana sama temen gue, Dita Aldila Krisma. Tapi berhubung gue bangun kesiangan, akhirnya jam segini baru beres mandi. Dan tiba-tiba gue pengen nulis, tapi belum pengen nulis skripsi wkwkwk. 

So, in this post I would like to write about a character I know in One Piece. Who doesn't know or never heard this anime/manga? I think dudes who born in 90s and before know this adventure anime. Ya, this is about one antagonist character in One Piece, Donquixote Doflamingo a.k.a Doffy or Mingo (as Luffy likes to change a person's name).

I wonder how could someone be that wicked, cruel, rude, and all the bads in him.

Doflamingo adalah sosok yang amat sangat keji, tegaan, jahat, dan bisa dibilang dia tidak punya hati. Tapi hey, semua orang memiliki hati kecil yang tetap menyimpan kebaikan walaupun hanya secuil. Mungkin masa lalu lah yang mematikan hati kecilnya Doflamingo.

Doflamingo adalah keturunan Tenryuubito. Ya, jadi Tenryuubito adalah sekumpulan orang yang merajai dunia. Tenryuubito bergerak dengan nama World Government, dimana World Government adalah penggerak Marine (Angkatan Laut). Tenryuubito dan keluarganya memiliki tabiat yang buruk. Mereka senang menindas rakyat kecil, dan suka menyiksa budak-budak yang mereka beli dengan harga mahal. 

Ayah Doflamingo adalah salah satu anggota Tenryuubito, dan setiap anggota Tenryuubito diberikan satu kerajaan untuk dipimpin. Namun, ayah Doflamingo memutuskan untuk keluar dari Tenryuubito dan ingin bergaul dengan penduduk biasa. Ia ingin mengakhiri hidup sebagai orang yang menyiksa orang lain. 

Namun, Doflamingo yang sudah terbiasa hidup serba ada dan serba enak nggak bisa menerima hal itu. Dia yang masih kecil sudah terbiasa memegang pistol, memiliki kemauan yang keras, akhirnya tidak tahan dengan perlakuan orang-orang yang memusuhi bahkan ingin membunuh keluarga mereka. Keluarga Donquixote mengamankan diri mereka jauh dari penduduk desa, dan pada suatu hari, ibu Doflamingo sakit yang akhirnya menyebabkannya meninggal. Doflamingo menyalahkan ayahnya atas kejadian ini. "SEMUA GARA-GARA KAU! IBU JADI MENINGGAL!" begitu ia teriakkan kepada ayahnya.

Tidak lama setelah itu, penduduk desa menemukan tempat persembunyian ayah Doflamingo dan kedua anaknya yang masih kecil. Penduduk memasung mereka di sebuah dinding besar. Mereka akan mengeksekusi keluarga yang tinggal terdiri dari 3 orang itu dengan cara memanahnya. Namun sebelum Doflamingo tertusuk panah yang melesat, semua orang pingsan tak sadarkan diri karena Haohshoku no haki yang dimiliki Doflamingo. Akhirnya mereka turun dari dinding tersebut. Namun kemudian Doflamingo yang masih marah kepada ayahnya, memutuskan untuk membunuh ayahnya dengan pistol yang sudah terbiasa ia gunakan. Ia menembak ayahnya yang tersenyum dan mengatakan, "Maafkan aku, Doffy..." di depan adik laki-lakinya, Rosinante.

Begitulah masa kecil Doflamingo. Ia bukannya tidak memiliki hati nurani atau hati kecil, tetapi masa lalunya lah yang telah merenggut hati yang dimilikinya. Anak kecil seharusnya dididik dengan baik dan penuh kasih sayang. Gimana bisa seorang anak jadi anak baik kalau dalam hidupnya terbiasa melihat orang menembakkan pistol, menyiksa budak, dan lain sebagainya? Gue rasa itu bukan salah Doflamingo. Itu salahnya dunia, dunia dia yang penuh dengan orang jahat. Doflamingo adalah hasil didikan dari dunia yang penuh dengan kekerasan, baik psikis maupun fisik. Sehingga ketika dunia itu bertemu dengan karakter bawaannya yang memang keras, yah.... Hal apa pun bisa terjadi, baik ataupun buruk.

Begitulah. Posting kali ini adalah sekadar pengingat aja, terutama buat diri gue sendiri, bahwa karakter seseorang adalah hasil dari pendidikan yang ia dapat di dunianya. Kalau dunianya penuh dengan caci maki, dia akan terbiasa mencaci maki orang lain. Kalau dunianya penuh dengan kasih sayang, dia akan terbiasa menyayangi orang lain. Gitu.


23.10.16

I Want Happiness



A man ask Buddha,


"I want happiness."


Buddha replied,


"First, remove 'I'. That's ego.


Then remove 'want'. That's desire.


See now, you left with only "happiness."


Source: 9gag

20.10.16

STADION

Ini bukan kisah tentang cinta segitiga yang terjadi dalam sebuah persahabatan. Ini bukan kisah tentang seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan yang saling jatuh cinta. Bukan juga cinta tentang dua orang yang berbeda strata ekonominya. Ini hanya kisah sederhana tentang dua orang insan manusia yang dipertemukan oleh takdir Tuhan yang mengatasnamakan kebetulan.

***
            Jasmin, adalah seorang mahasiswi Sastra Inggris di sebuah perguruan tinggi negeri. Otaknya memang cukup cemerlang. Wajah biasa saja, sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia, rambut sepunggung dan bergelombang di ujungnya, berkacamata. Hanya sedikit teman yang dekat dengannya. Dianggap aneh, karena setiap ada waktu luang bersemedi di perpustakaan universitas. Pendiam. Lugu. Tidak banyak bicara tetapi sebenarnya pandai berkata-kata. Ia sering memenangkan lomba debat antar-universitas. Selain ke perpustakaan, hobinya adalah mencorat-coret, maksudnya menulis dan menggambar. Ah ya, satu lagi hobi yang sudah beberapa bulan terakhir ini ditekuninya. Menonton atlet lari yang sedang latihan di stadion. Atau lebih tepatnya, menonton seorang atlet lari yang setiap hari Selasa dan Jumat sore latihan di stadion kampusnya.
            Bara, adalah seorang mahasiswa teknik di sebuah perguruan tinggi negeri. Cerdas, cukup sering mengikuti berbagai proyek. Berwajah maskulin dengan rahang yang tegas, kulitnya cukup bersih untuk ukuran cowok, rambut bergelombang dipotong cepak. Punya banyak teman dan cukup populer, tapi ia bukan orang yang senang dijadikan pusat perhatian. Sudah berhenti merokok semenjak ayahnya meninggal karena kanker paru-paru, ketika ia masih SMA. Kacamata membingkai kedua matanya yang bening saat ia di depan meja, tetapi di lapangan ia berlari bagaikan puma. Hobi mengoleksi mainan model. Kamar kost-nya dipenuhi mainan model yang disusun rapi. Sesekali ia memetik senar gitarnya untuk mengusir penat. Ia adalah atlet lari andalan di kampusnya. Belakangan ini hobinya bertambah satu lagi, yaitu berkeliling gedung Sastra Inggris saat ia punya waktu luang.
            Waktu itu Jasmin sedang menuruni anak tangga stadion. Ia baru saja selesai menggambar sketsa stadion saat sepi pengunjung. Tiba-tiba sebuah tangan berjemari panjang namun kuat mencengkeram bahunya halus. Jasmin menoleh, dan itulah pertama kalinya ia melihat sosok Bara.
            Waktu itu Bara baru saja selesai latihan lari untuk perlombaan keduanya. Ia sedang mengambil tasnya yang disembunyikan oleh teman-temannya di bangku stadion bagian belakang, ketika ia melihat seorang gadis bangkit berdiri. Selembar kertas jatuh dari tumpukan buku yang dibawa oleh gadis itu. Bara mengejarnya, bermaksud mengembalikan kertas itu, siapa tahu kertas penting.
            Jasmin tidak tahu, detik ketika ia menoleh pada Bara akan mengubah seluruh cerita hidupnya. Bara tidak tahu, detik ketika ia menyentuh pundak Jasmin akan mengubah seluruh cerita hidupnya. Jasmin dan Bara tidak tahu, hobi mereka akan bertambah menjadi beberapa banyak lagi. Bahkan detik itu, riuh suara buruh gereja menjadi musik terindah bagi mereka yang sedang jatuh hati. Bahkan detik itu, stadion yang tidak istimewa itu menjadi tempat paling sakral bagi mereka yang sedang jatuh hati.
            "Ini punya kamu?"
            "Iya. Makasih."
            Detik berikutnya mereka sama-sama menyesal. Jasmin menyesal karena pergi begitu saja setelah mengucapkan dua patah kata secara harfiah. Bara menyesal karena ia tidak punya nyali untuk menanyakan nama gadis itu sebelum ia pergi. Senja itu, jingga cahaya matahari begitu indah, seindah hati mereka yang sedang jatuh hati.
***
            Bara tahu yang dilakukannya ini sangat konyol. Ini kali kesekian ia berlari di stadion bukan karena akan diadakan perlombaan. Lomba itu sudah seminggu yang lalu, dan ia menyabet juara II. Tapi ia punya alasan lain untuk tetap berlari di stadion kampusnya setiap hari Selasa dan Jumat. Ya, karena gadis itu selalu datang dan duduk di barisan bangku ketiga dari depan di tribun timur.
            Jasmin tahu yang dilakukannya ini sangat konyol. Ini kali kesekian ia duduk sendirian di stadion bukan karena ia sedang ingin menggambar. Ia sudah bosan menggambar stadion dan seisinya, kecuali makhluk atletis yang satu itu. Atlet itulah satu-satunya alasan mengapa Jasmin selalu memilih duduk di bangku barisan ketiga di tribun timur setiap Selasa dan Jumat. Karena dari sana, Jasmin bisa melihat pelari itu bermandikan peluh dilatarbelakangi langit senja dan matahari yang mulai terbenam.
            Waktu itu Bara sedang iseng membuka website kampusnya, dan ia melihat ada foto gadis favoritnya. "Oh, jadi dia menang lomba debat bahasa Inggris se-Indonesia. Jasmin… Nama yang cantik." Begitu suara hati Bara berkata.
            Jasmin berjalan pulang dari petshop, mengambil Mochi, kucing kesayangannya. Ia sedang melewati Fakultas Teknik, ketika tak sengaja dilihatnya banner berukuran cukup besar. Di banner itu ada foto pelari favoritnya. "Oh, jadi dia juara II lomba lari jarak pendek se-Indonesia. Bara… Nama yang cocok untuk pelari seperti dia."
***
            Setelah sekian belas kali berlari di stadion tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Bara mulai terbiasa menyunggingkan senyum ketika berlari lewat depan tribun bagian timur. Setelah sekian belas kali duduk diam di stadion tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Jasmin terbiasa menyunggingkan senyum ketika pelari itu melintas di depannya. Setelah sekian belas kali, akhirnya….
            Setelah sekian puluh kali berlari di stadion dan tersenyum setiap kali melewati tribun timur tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Bara berani berhenti berlari dan berjalan menghampiri Jasmin. Setelah sekian puluh kali duduk diam sendirian di stadion dan tersenyum setiap kali Bara lewat di depannya tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Jasmin berani menatap Bara saat Bara menghampirinya. Setelah sekian puluh kali, akhirnya…
            "Hai, Jasmin." sapa Bara, terpesona.
            "Hai, Bara." sapa Jasmin, terpesona.
            Bahkan rumput-rumput di stadion pun tak berani bergemerisik karena takut mengganggu kedua insan yang saling terpesona itu.
            "Udah mau pulang? Aku antar ya?" Bara bertanya di luar kesadarannya, masih menatap Jasmin.
            Jasmin hanya mengangguk kecil, masih menatap Bara. Apakah ada yang pernah bilang bahwa cinta bisa menghipnotis dua insan manusia? Ya, dengan cara itulah cinta bekerja.
            Malam itu, Bara dan Jasmin bagaikan tersihir. Keduanya tidak bisa tidur di kamarnya masing-masing. Bolak-balik, guling kanan, guling kiri. Ah, sulit sekali tidur ketika bibir terus menyungging senyum dan kotak tertawa tidak bisa tertutup rapat! Tunggu dulu. Bara merasa ada yang kurang. Kenapa ia tak meminta nomor handphone Jasmin? Ah, sudahlah. Itu bisa nanti.
            Namun sayangnya, saat hari seharusnya Jasmin duduk di tempat biasanya, dia tidak di sana. Bukan main kecewanya hati Bara. Padahal ia sedang bersemangat latihan karena sebentar lagi akan ada seleksi atlet lari untuk mewakili kampusnya di lomba lari jarak pendek di Kalimantan. Di hari yang sama, Jasmin menyesal setengah mati karena ia tidak bisa duduk di bangku biasanya, tribun timur barisan ketiga dari depan. Ia sedang menghadap dosennya, mempersiapkan lomba debat yang akan diikutinya. Hari itu alam tak berpihak pada mereka. Hari itu semesta berkonspirasi untuk tidak mempertemukan mereka. Atau memang skenario Yang Maha Kuasa memang seperti itu adanya? Yang jelas, senja itu Jasmin dan Bara pulang dengan kepala tertunduk. Yang satu kecewa, dan yang lain menyesal.
            Selama dua minggu Jasmin tidak pernah punya kesempatan duduk di bangku favoritnya di stadion. Latihan dan berbagai technical meeting menyita banyak waktunya. Sekali waktu saat hari Jumat sore, tepat sebelum esok paginya ia harus berangkat ke Surabaya untuk mengikuti lomba debat, ia datang ke stadion. Stadion hampir ditutup. Memaksa masuk ke stadion, tetapi tak dilihatnya punggung Bara di lintasan lari. Akhirnya Jasmin keluar dari stadion, meninggalkan pak penjaga yang sedikit bersungut-sungut karena tugasnya terhambat.
            Selama dua minggu Bara tidak pernah punya kesempatan melihat wajah manis berbingkai kacamata itu. Semangatnya terkuras habis tanpa sisa. Sekali waktu saat hari Jumat pagi, tepat sebelum sorenya ia harus berangkat ke Kalimantan untuk mengikuti lomba lari, ia datang ke gedung Sastra Inggris. Setelah mencari dan mengintip satu demi satu ruangan, akhirnya Bara menemukan gadis favoritnya sedang berlatih speech di sebuah kelas kosong. Berharap mendengar suara Jasmin dan melihat sosoknya dapat mengalirkan semangatnya untuk berlari esok siang.
***
            Sudah sebulan sejak Jasmin pulang kembali ke kotanya. Kembali ke rutinitasnya seperti biasa, termasuk duduk di bangku barisan ketiga tribun timur stadion kampus setiap hari Selasa dan Jumat. Tapi tak pernah ia melihat Bara berlari di lintasan lari itu. Jasmin sangat rindu pada Bara. Jasmin sangat rindu menggambar punggung sempurna yang berlari menjauhinya.
            Sudah dua bulan… Tiga bulan… Lima bulan… Setahun…
            Jasmin menyerah pada takdir.
            Sudah sebulan sejak Bara pulang kembali ke kotanya. Kembali ke rutinitasnya seperti biasa, kecuali berlari keliling stadion kampus setiap hari Selasa dan Jumat. Rutinitas itu ia ganti dengan rutinitasnya yang baru: duduk di bangku ketiga dari belakang di tribun timur stadion setiap hari Selasa dan Jumat. Tak pernah lagi ia melihat wajah manis berbingkai kacamata itu tersenyum padanya. Yang bisa ia lihat adalah punggung Jasmin yang berjalan menjauhinya. Bara rindu Jasmin. Bara rindu berlari di lintasan itu dan tersenyum pada Jasmin.
            Sudah dua bulan… Tiga bulan… Lima bulan… Setahun…
            Bara membiarkan Jasmin pergi.
***
Setahun sebelumya….
            "Kamu tahu Bara, kan? Atlet lari yang dari teknik itu. Katanya dia cidera pergelangan kaki. Padahal waktu lomba lari di Kalimantan itu, dia hampir sampai garis finish."
            "Oh ya? Kasihan…"
            "Apalagi katanya cidera itu bikin dia nggak bisa berlari lagi."
            Jasmin mendengarkan percakapan kedua atlet yang berpapasan dengannya saat keluar stadion. Jasmin merasa muak pada dirinya sendiri. Mulai hari itulah Jasmin juga berhenti menggambar.
***
Lima tahun kemudian…
            Jasmin kembali lagi ke tempat itu. Stadion yang sama seperti sekitar tujuh tahun yang lalu. Seorang atlet lari yang pernah berlari di lintasan stadion itu, sampai saat ini masih terbayang oleh Jasmin. Ia menghampiri bangku yang dulu biasa dia duduki. Barisan ketiga dari depan di tribun timur stadion kampusnya.
            "Kamu ke sini juga?"
            Jasmin menoleh ke belakang dengan cepat. Seulas senyum segera tersungging di bibirnya. "Bara."
            Bara tersenyum. "Masih suka menggambar?" tanya Bara basa-basi.
            "Nggak. Aku berhenti menggambar sejak kamu berhenti lari di lintasan lari. Apa lagi yang bisa digambar kalau nggak ada kamu di depanku?"
            "Kenapa kamu berhenti datang ke stadion?" Bara bertanya lagi.
            "Karena nggak ada gunanya aku datang ke sini, duduk diam sendiri. Sedangkan kamu malah duduk di belakang sana menatap punggungku dan ngebiarin aku pergi." Jasmin menjawab menggumam.
            "Kamu tahu?"
            "Sangat tahu. Kenapa kamu nggak duduk di sampingku?" Jasmin balas bertanya.
            "Hmm… Karena aku takut kamu kecewa. Kamu kan suka pelari. Sedangkan aku udah nggak mungkin lari lagi."
            Jasmin melotot tidak percaya, lalu melangkah mundur. "Bara! Nggak mungkin lah! Aku suka kamu apa adanya. Bahkan dari dulu."
            Bara menatap Jasmin tepat di bola mata. Tidak percaya. Tapi sesaat kemudian Bara tersenyum dan menarik Jasmin ke pelukannya. "Aku tahu, bahkan dari dulu. Kamu pun tahu aku juga sebaliknya."
            Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari tiga kata yang terucap dari mulut Bara yang berdiri di depan Jasmin. Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari siluet kedua insan manusia yang sesaat lagi akhirnya saling mengikat. Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari anggukan kecil Jasmin dan tawa sekaligus tangis bahagianya.
***
Malam ketika Bara mengantar Jasmin pulang…
            Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, melainkan duduk di sebuah warung makan lesehan sederhana. Sebuah sungai mengalir di kanan bawah mereka.
            "Kenapa kamu suka lari?"
            "Karena saat berlari itu, sepersekian detik sangat berharga buatku. Saat itu, aku bisa merasakan sepatuku punya sayap, hahaha. Setiap kali berlari di lintasan, aku berusaha mencapai finish dengan usahaku sendiri. Dan ya, setiap kali berlari di lintasan, aku selalu membayangkan kamu nunggu aku di garis finish."
            Jasmin tersenyum malu. Tersipu oleh kalimat Bara yang jauh dari gombalan.
            "Kenapa kamu suka banget menggambar?" Bara balas bertanya.
            Jasmin menunduk menatap piringnya yang sudah kosong. "Bagaimana mungkin aku bisa bosan menggambar, kalau yang aku gambar itu kamu, objek terfavoritku."

17.10.16

Jelas Itu Mitos


Image result for myth
So, last week I had a philosophy course which was handled by Professor Marsigit. He is one of the most famous professor in my department.

Beliau berkata bahwa "jelas itu mitos". Jika kita menilik arti kata mitos di KBBI online, hasilnya adalah sebagai berikut:
mitos/mi·tos/ n 1 cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib;

Yang masih menjadi pertanyaan di kepala gue adalah, kenapa professor berkata bahwa jelas adalah mitos? Padahal mitos dalam arti bahasa adalah sesuatu yang berkaitan dengan kegaiban. Apakah jelas itu gaib?

Mungkin begini maksudnya,
Mitos hanyalah suatu kepercayaan yang timbul di masyarakat yang munculnya sejak zaman nenek moyang entah tahun berapa.Misal seperti "anak perempuan jangan suka duduk di muka pintu, karena nanti sulit mendapatkan jodoh"
Well... Mungkin untuk wanita yang sejak kecilnya hobi duduk di muka pintu dan hingga tua masih juga belum menikah, pada akhirnya ia mempercayai mitos tersebut. Mengapa? Ya karena ia mengalaminya, terlepas ia tak tahu apakah benar ia tidak juga menikah karena mitos tersebut berlaku untuknya, atau memang karena takdir Tuhan. Maka mitos itu menjadi jelas. Tapi untuk wanita yang dulunya kerap duduk di muka pintu tetapi cepat menemukan jodoh/pasangannya, tentu mitos itu tidak berlaku, and it is still a myth. Maka untuknya, mitos adalah ketidakjelasan.

Sebenarnya orang zaman dulu menciptakan mitos-mitos tujuannya adalah untuk mencegah anak-cucunya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma masyarakat atau norma agama yang ada. Kalau dipikir secara logis, duduk di muka pintu tentu saja tidak sopan, karena menghalangi orang yang ingin keluar atau masuk lewat pintu tersebut. Terlebih kalau anak perempuan yang duduk di muka pintu. Karena sejatinya perempuan haruslah menjaga dirinya lebih baik daripada laki-laki. Karena itulah nenek moyang menciptakan mitos tersebut.

Now, let's play it contradictively.
Tadi kita mencapai kesimpulan: mitos adalah ketidakjelasan
Lalu apakah berlaku bahwa jelas adalah mitos?

Sebenarnya tidak ada yang jelas di dunia ini. Apa yang terjadi satu, lima, atau dua puluh detik dari sekarang di garis hidup seseorang, tidak ada yang tahu. Apa yang akan terjadi pada tanggal yang sama seperti hari ini dua tahun yang akan datang, tidak ada yang tahu. Tentu ada yang tahu, sebenarnya, yaitu Tuhan.
Sekali lagi, tidak ada yang jelas di dunia ini. Apakah 1+1 jelas sama dengan 2? Tidak. 1+1 jelas sama dengan 2 jika kita berbicara dalam konteks bilangan basis 10. Pada sistem bilangan basis 2 (biner), 1+1 sama dengan 0. Maka 1+1 bukan kejelasan, ia hanyalah kesepakatan antara ahli-ahli matematika zaman dulu. Apakah jelas jika seseorang lolos ujian tertulis CPNS ia akan menjadi PNS? Tidak. Bisa jadi ia memenangkan beasiswa kuliah di luar negeri, kemudian meninggalkan hasil tes CPNS tersebut. Apakah jelas jika kamu mengutarakan cinta kepada seseorang, menjamin bahwa kalian akan berpacaran? Ya belum tentu lah.

Itulah kejelasan. Ia menjadi semakin tidak jelas jika kita semakin mempertanyakannya. Lalu lama-kelamaan ia menjadi mitos semata. Hal yang belum tentu ada, belum tentu terjadi, dan belum tentu diimani/dipercayai.

Kemudian gue mulai memahami makna kejelasan itu. Jadi, saat seseorang meminta kejelasan semacam "Sebenarnya hubungan kita ini arahnya kemana sih? Tolong beri saya kejelasan." Maka sebenarnya ia hanya meminta mitos. Hal yang belum tentu ada, belum tentu terjadi, dan belum tentu diimani.

Maka kunci untuk mengatasi segala ketidakjelasan yang terjadi di hidup adalah dengan percaya. Bukan percaya pada kejelasan atau percaya pada mitos, tetapi percaya akan campur tangan Tuhan. Dan bahwa ketika Tuhan berkehendak, maka semesta akan berkonspirasi untuk mewujudkannya.

15.10.16

Ken dan Peri Gigi

"Sebelum tidur harus gosok gigi dulu." begitu kata ibu setiap malam sebelum Ken naik ke tempat tidur.
"Ah, malas, Bu..."
Sering kali Ken sudah terlalu mengantuk sampai akhirnya tidak mau menuruti ibunya. Sekarang Ken duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Gigi depan Ken masih gigi susu, dan semuanya hitam-hitam! Itu karena kebiasaan Ken yang sulit sekali disuruh menggosok gigi. Belum lagi, Ken sangat suka permen dan cokelat.
Suatu pagi, Ken merasa salah satu gigi depannya yang warnanya sudah menghitam itu sedikit goyah. Ken bertanya pada ibu, "Bu, gigi Ken yang ini kok goyang-goyang ya?"
Ibu tersenyum pada putra kecilnya itu, lalu menjawab, "Itu artinya, gigi Ken sudah mau tanggal."
"Loh, nanti Ken jadi ompong seperti Opa dong, Bu?"
Ibu tidak menjawab, dan hanya tersenyum simpul.
Tiga hari kemudian, juga di pagi hari, ibu dan ayah Ken dikejutkan dengan jeritan Ken dari kamar mandi. Mereka yang sedang di ruang makan segera berlari terbirit-birit.
"Ada apa, Ken?"
Ken tersedu-sedu sambil memegangi sikat gigi. Oh, rupanya Ken sedang menyikat giginya, ketika gigi depannya salah satunya tanggal. Ken terkejut karena melihat darah dari gigi yang tanggal. Gigi yang tanggal itu sekarang ada di genggaman Ken.
"Darah itu nggak apa-apa, Ken. Kalau gigi kita tanggal memang akan keluar darah. Gigi kan juga ada akarnya." begitu kata ayah. Ken lega. Ini pertama kalinya ia mengalami penanggalan gigi.
***
Sampai di sekolah, teman-teman menertawai Ken. Karena gigi yang ompong di depan itu terlihat sangat lucu! Apalagi saat Ken tertawa lebar.
Kata Hani, "Hahahaha, Ken jadi seperti Kakeknya Hani!"
"Ahahahaha, sapi ompong!"
Ken sebal sekali. Tapi dia diam saja. Tapi Bu Guru tahu kalau Ken sedang sebal karena diejek teman-temannya. Bu Guru mendekati Ken dan berkata, "Ken, dimana gigi yang tadi pagi tanggal itu?"
Ken tidak menjawab, hanya menggerakkan tangannya ke saku celana pendek merahnya. Saat Ken membuka genggamannya, ada sebutir gigi kehitaman di sana. Bu Guru kembali melanjutkan, "Gigi ini nanti malam Ken letakkan di bawah bantal, ya. Siapa tahu diambil oleh peri gigi dan diganti dengan hadiah."
"Memangnya peri gigi itu ada, Bu?" Ken heran.
"Ya jelas ada, dong! Ken jarang sikat gigi ya?"
Ken hanya menunduk malu ditanyai seperti itu oleh Bu Guru.
"Coba kalau Ken rajin gosok gigi sebelum tidur, kan giginya nggak akan berwarna hitam seperti ini. Kalau giginya hitam begini, memangnya peri gigi masih mau mengambil?"
Ken mengangguk dengan semangat, berharap peri gigi benar-benar ada dan masih mau mengambil giginya untuk menggantinya dengan hadiah.
***
Sesampainya di rumah, Ken menceritakan apa yang dibilang Bu Guru pada ibu. Malamnya, Ken naik ke tempat tidur dengan cepat. Tidak lupa meletakkan giginya di bawah bantal. Tidak lupa juga cuci kaki, cuci tangan, membasuh muka. Eits! Kali ini Ken tidak lupa menggosok gigi.
Ken juga tertidur dengan cepat. Tapi tak lama kemudian Ken terbangun. Ia merasa mendengar percakapan di dekat telinganya. Ketika membuka mata, Ken terkejut setengah mati. Ternyata ada dua peri gigi sedang berusaha mengangkat sedikit bantalnya, untuk mengambil gigi Ken! Peri itu bergaun putih dan di kepalanya ada mahkota berbentuk gigi. Yang satu berbentuk gigi taring, yang lainnya berbentuk gigi seri, dan mereka cantik!
"Hai." bisik Ken.
Whoops! Kedua peri itu terlonjak kaget.
"Jangan takut. Namaku Ken dan aku masih kecil, aku tidak akan jahat pada kalian. Kalian mau kubantu mengangkat bantal?" Ken yang sudah terduduk mengangkat bantalnya dari kasur.
Kedua peri itu menatap bergantian pada Ken dan giginya yang tergeletak di kasur. Mereka terlihat sedikit bersungut-sungut. Lalu peri yang bermahkota gigi taring berkata, "Ken, apa maksudmu memberi kami gigi yang sudah menghitam ini?"
"Bukankah kalian akan mengambil gigi yang tanggal dan menggantinya dengan hadiah?" tanya Ken bingung.
"Ya, biasanya memang seperti itu, kalau kamau beruntung. Tapi kami mengambil gigi yang masih bagus saja. Gigi yang sudah busuk dan bau tidak bisa dipakai lagi, Ken." peri bermahkota gigi seri menjelaskan.
"Ya ampun, Ken. Kamu pasti sangat malas menggosok gigi."
                "Ya, mulutmu pasti sangat bau. Jorok sekali kamu ini."
"Banyak sekali kuman di mulutmu, nafasmu juga akan bau."
"Gigimu banyak yang bolong."
"Kamu akan sering ke dokter gigi karena sakit gigi."
"Ya, ya. Berapa kali kamu menggosok gigi dalam sehari?"
Ken takut menjawab pertanyaan itu, karena kedua peri itu ternyata lebih galak daripada ibu Ken! Sekarang kedua peri itu bahkan memelototi Ken. "S…satu kali sehari, sebelum berangkat sekolah."
Kedua peri cantik itu geleng-geleng kepala, tak habis pikir. "Benar-benar… Ayo, Fiz. Kita harus menunjukkan sesuatu pada tuan muda ini." begitu kata Liz, peri bermahkota gigi seri kepada rekannya. Dengan sekali menjentikkan jari, Fiz mengubah Ken menjadi kecil seukuran mereka. Lalu sesaat kemudian kedua peri itu menggeret Ken ke jendela. Ya, mereka bisa terbang seperti peri-peri lainnya. Fiz, peri bermahkota gigi taring membuka jendela lebar-lebar, dan meluncurlah mereka bertiga ke udara malam.
"Whoaaaa!" Ken menjerit ketakutan. Kedua peri itu memegang piyamanya di bagian pundak.
Fiz dan Liz mengajak Ken terbang melintasi kota, terus terbang ke arah Bukit Krauche, masih terus, sangat jauh. Hingga akhirnya mereka mendarat di depan sebuah gedung putih berbentuk gigi raksasa. Fiz dan Liz mengajak Ken masuk ke sana. Ternyata itu adalah Gedung Pemantau milik para peri gigi. Ada banyak sekali gigi anak kecil yang disimpan di sana. Gedung itu juga digunakan untuk memantau keadaan anak-anak yang sedang dalam pergantian dari gigi susu menjadi gigi dewasa. Pokoknya gedung itu canggih dan hebat sekali! Ken diajak berkeliling gedung.
"Kami para peri gigi sangat menghargai gigi anak-anak. Bagaimana mungkin kamu si pemilik gigi tidak menghargai gigimu?" tuntut Liz.
"Ya. Lagi pula gigi itu sangat keren. Kalau kamu nggak punya gigi, kamu setiap hari harus makan bubur seperti bayi, atau pakai gigi palsu seperti kakek-kakek." tambah Fiz.
"Gigi juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi makhluk hidup."
"Gigi adalah salah satu tulah terkuat manusia."
Wah, Ken tidak pernah tahu kalau gigi seberharga itu. Fiz dan Liz menunjukkan sebuah monitor yang menggambarkan seorang anak perempuan sedang menangis kesakitan. Pipinya yang sebelah kiri membengkak. Ternyata itu karena dia sakit gigi. "Lihatlah, kalau malas sikat gigi, kamu akan bernasib sama dengan anak itu, Ken."
"Aku janji, aku akan rajin sikat gigi mulai sekarang."
Tak lama kemudian, Fiz dan Liz mengajak Ken terbang kembali ke rumahnya. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan. Ken memeriksa gigi di bawah bantalnya. "Ah, mungkin Fiz dan Liz benar-benar tidak menginginkan gigiku." begitu pikir Ken. Lalu Ken merebahkan badannya dan tidur.
Satu jam sebelum jam biasanya Ken terbangun, ibu dan ayahnya diam-diam masuk ke kamar Ken. Ayah mengangkat badan Ken dari kasur, sementara ibu mengambil gigi Ken di bawah bantal dan meletakkan sesuatu sebagai penggantinya.
***
"Ibuuu! Ayaaah! Ken dapat hadiah dari peri gigi!" Ken berteriak tepat setelah ia terjaga. Ken mendapati sebuah sikat gigi yang ujung gagangnya berbentuk mobil balap, dan dua pasta gigi masing-masing rasa anggur dan jeruk. Waah! Ken senang sekali! Bahkan ada kertas bertuliskan, "Kamu harus rajin sikat gigi ya, Ken. Minimal dua kali sehari. Dari peri gigi."
Ken langsung menuju kamar mandi untuk mandi dan sikat gigi. Ken tidak tahu kalau itu adalah pemberian dari ibu dan ayah. Tapi Ken tahu, semalam ia memang diajak terbang oleh dua peri gigi bernama Fiz dan Liz.
Sementara itu, di Gedung Pemantau, Fiz dan Liz tersenyum memandang sebuah monitor yang menampilkan gambar Ken sedang menyikat gigi.
"Untung saja kita tidak mengambil giginya, benar kan, Liz?"
"Ya. Kalau tidak, dia akan tahu bahwa cerita peri gigi memberikan hadiah itu bohong."
***