20.10.16

STADION

Ini bukan kisah tentang cinta segitiga yang terjadi dalam sebuah persahabatan. Ini bukan kisah tentang seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan yang saling jatuh cinta. Bukan juga cinta tentang dua orang yang berbeda strata ekonominya. Ini hanya kisah sederhana tentang dua orang insan manusia yang dipertemukan oleh takdir Tuhan yang mengatasnamakan kebetulan.

***
            Jasmin, adalah seorang mahasiswi Sastra Inggris di sebuah perguruan tinggi negeri. Otaknya memang cukup cemerlang. Wajah biasa saja, sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia, rambut sepunggung dan bergelombang di ujungnya, berkacamata. Hanya sedikit teman yang dekat dengannya. Dianggap aneh, karena setiap ada waktu luang bersemedi di perpustakaan universitas. Pendiam. Lugu. Tidak banyak bicara tetapi sebenarnya pandai berkata-kata. Ia sering memenangkan lomba debat antar-universitas. Selain ke perpustakaan, hobinya adalah mencorat-coret, maksudnya menulis dan menggambar. Ah ya, satu lagi hobi yang sudah beberapa bulan terakhir ini ditekuninya. Menonton atlet lari yang sedang latihan di stadion. Atau lebih tepatnya, menonton seorang atlet lari yang setiap hari Selasa dan Jumat sore latihan di stadion kampusnya.
            Bara, adalah seorang mahasiswa teknik di sebuah perguruan tinggi negeri. Cerdas, cukup sering mengikuti berbagai proyek. Berwajah maskulin dengan rahang yang tegas, kulitnya cukup bersih untuk ukuran cowok, rambut bergelombang dipotong cepak. Punya banyak teman dan cukup populer, tapi ia bukan orang yang senang dijadikan pusat perhatian. Sudah berhenti merokok semenjak ayahnya meninggal karena kanker paru-paru, ketika ia masih SMA. Kacamata membingkai kedua matanya yang bening saat ia di depan meja, tetapi di lapangan ia berlari bagaikan puma. Hobi mengoleksi mainan model. Kamar kost-nya dipenuhi mainan model yang disusun rapi. Sesekali ia memetik senar gitarnya untuk mengusir penat. Ia adalah atlet lari andalan di kampusnya. Belakangan ini hobinya bertambah satu lagi, yaitu berkeliling gedung Sastra Inggris saat ia punya waktu luang.
            Waktu itu Jasmin sedang menuruni anak tangga stadion. Ia baru saja selesai menggambar sketsa stadion saat sepi pengunjung. Tiba-tiba sebuah tangan berjemari panjang namun kuat mencengkeram bahunya halus. Jasmin menoleh, dan itulah pertama kalinya ia melihat sosok Bara.
            Waktu itu Bara baru saja selesai latihan lari untuk perlombaan keduanya. Ia sedang mengambil tasnya yang disembunyikan oleh teman-temannya di bangku stadion bagian belakang, ketika ia melihat seorang gadis bangkit berdiri. Selembar kertas jatuh dari tumpukan buku yang dibawa oleh gadis itu. Bara mengejarnya, bermaksud mengembalikan kertas itu, siapa tahu kertas penting.
            Jasmin tidak tahu, detik ketika ia menoleh pada Bara akan mengubah seluruh cerita hidupnya. Bara tidak tahu, detik ketika ia menyentuh pundak Jasmin akan mengubah seluruh cerita hidupnya. Jasmin dan Bara tidak tahu, hobi mereka akan bertambah menjadi beberapa banyak lagi. Bahkan detik itu, riuh suara buruh gereja menjadi musik terindah bagi mereka yang sedang jatuh hati. Bahkan detik itu, stadion yang tidak istimewa itu menjadi tempat paling sakral bagi mereka yang sedang jatuh hati.
            "Ini punya kamu?"
            "Iya. Makasih."
            Detik berikutnya mereka sama-sama menyesal. Jasmin menyesal karena pergi begitu saja setelah mengucapkan dua patah kata secara harfiah. Bara menyesal karena ia tidak punya nyali untuk menanyakan nama gadis itu sebelum ia pergi. Senja itu, jingga cahaya matahari begitu indah, seindah hati mereka yang sedang jatuh hati.
***
            Bara tahu yang dilakukannya ini sangat konyol. Ini kali kesekian ia berlari di stadion bukan karena akan diadakan perlombaan. Lomba itu sudah seminggu yang lalu, dan ia menyabet juara II. Tapi ia punya alasan lain untuk tetap berlari di stadion kampusnya setiap hari Selasa dan Jumat. Ya, karena gadis itu selalu datang dan duduk di barisan bangku ketiga dari depan di tribun timur.
            Jasmin tahu yang dilakukannya ini sangat konyol. Ini kali kesekian ia duduk sendirian di stadion bukan karena ia sedang ingin menggambar. Ia sudah bosan menggambar stadion dan seisinya, kecuali makhluk atletis yang satu itu. Atlet itulah satu-satunya alasan mengapa Jasmin selalu memilih duduk di bangku barisan ketiga di tribun timur setiap Selasa dan Jumat. Karena dari sana, Jasmin bisa melihat pelari itu bermandikan peluh dilatarbelakangi langit senja dan matahari yang mulai terbenam.
            Waktu itu Bara sedang iseng membuka website kampusnya, dan ia melihat ada foto gadis favoritnya. "Oh, jadi dia menang lomba debat bahasa Inggris se-Indonesia. Jasmin… Nama yang cantik." Begitu suara hati Bara berkata.
            Jasmin berjalan pulang dari petshop, mengambil Mochi, kucing kesayangannya. Ia sedang melewati Fakultas Teknik, ketika tak sengaja dilihatnya banner berukuran cukup besar. Di banner itu ada foto pelari favoritnya. "Oh, jadi dia juara II lomba lari jarak pendek se-Indonesia. Bara… Nama yang cocok untuk pelari seperti dia."
***
            Setelah sekian belas kali berlari di stadion tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Bara mulai terbiasa menyunggingkan senyum ketika berlari lewat depan tribun bagian timur. Setelah sekian belas kali duduk diam di stadion tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Jasmin terbiasa menyunggingkan senyum ketika pelari itu melintas di depannya. Setelah sekian belas kali, akhirnya….
            Setelah sekian puluh kali berlari di stadion dan tersenyum setiap kali melewati tribun timur tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Bara berani berhenti berlari dan berjalan menghampiri Jasmin. Setelah sekian puluh kali duduk diam sendirian di stadion dan tersenyum setiap kali Bara lewat di depannya tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Jasmin berani menatap Bara saat Bara menghampirinya. Setelah sekian puluh kali, akhirnya…
            "Hai, Jasmin." sapa Bara, terpesona.
            "Hai, Bara." sapa Jasmin, terpesona.
            Bahkan rumput-rumput di stadion pun tak berani bergemerisik karena takut mengganggu kedua insan yang saling terpesona itu.
            "Udah mau pulang? Aku antar ya?" Bara bertanya di luar kesadarannya, masih menatap Jasmin.
            Jasmin hanya mengangguk kecil, masih menatap Bara. Apakah ada yang pernah bilang bahwa cinta bisa menghipnotis dua insan manusia? Ya, dengan cara itulah cinta bekerja.
            Malam itu, Bara dan Jasmin bagaikan tersihir. Keduanya tidak bisa tidur di kamarnya masing-masing. Bolak-balik, guling kanan, guling kiri. Ah, sulit sekali tidur ketika bibir terus menyungging senyum dan kotak tertawa tidak bisa tertutup rapat! Tunggu dulu. Bara merasa ada yang kurang. Kenapa ia tak meminta nomor handphone Jasmin? Ah, sudahlah. Itu bisa nanti.
            Namun sayangnya, saat hari seharusnya Jasmin duduk di tempat biasanya, dia tidak di sana. Bukan main kecewanya hati Bara. Padahal ia sedang bersemangat latihan karena sebentar lagi akan ada seleksi atlet lari untuk mewakili kampusnya di lomba lari jarak pendek di Kalimantan. Di hari yang sama, Jasmin menyesal setengah mati karena ia tidak bisa duduk di bangku biasanya, tribun timur barisan ketiga dari depan. Ia sedang menghadap dosennya, mempersiapkan lomba debat yang akan diikutinya. Hari itu alam tak berpihak pada mereka. Hari itu semesta berkonspirasi untuk tidak mempertemukan mereka. Atau memang skenario Yang Maha Kuasa memang seperti itu adanya? Yang jelas, senja itu Jasmin dan Bara pulang dengan kepala tertunduk. Yang satu kecewa, dan yang lain menyesal.
            Selama dua minggu Jasmin tidak pernah punya kesempatan duduk di bangku favoritnya di stadion. Latihan dan berbagai technical meeting menyita banyak waktunya. Sekali waktu saat hari Jumat sore, tepat sebelum esok paginya ia harus berangkat ke Surabaya untuk mengikuti lomba debat, ia datang ke stadion. Stadion hampir ditutup. Memaksa masuk ke stadion, tetapi tak dilihatnya punggung Bara di lintasan lari. Akhirnya Jasmin keluar dari stadion, meninggalkan pak penjaga yang sedikit bersungut-sungut karena tugasnya terhambat.
            Selama dua minggu Bara tidak pernah punya kesempatan melihat wajah manis berbingkai kacamata itu. Semangatnya terkuras habis tanpa sisa. Sekali waktu saat hari Jumat pagi, tepat sebelum sorenya ia harus berangkat ke Kalimantan untuk mengikuti lomba lari, ia datang ke gedung Sastra Inggris. Setelah mencari dan mengintip satu demi satu ruangan, akhirnya Bara menemukan gadis favoritnya sedang berlatih speech di sebuah kelas kosong. Berharap mendengar suara Jasmin dan melihat sosoknya dapat mengalirkan semangatnya untuk berlari esok siang.
***
            Sudah sebulan sejak Jasmin pulang kembali ke kotanya. Kembali ke rutinitasnya seperti biasa, termasuk duduk di bangku barisan ketiga tribun timur stadion kampus setiap hari Selasa dan Jumat. Tapi tak pernah ia melihat Bara berlari di lintasan lari itu. Jasmin sangat rindu pada Bara. Jasmin sangat rindu menggambar punggung sempurna yang berlari menjauhinya.
            Sudah dua bulan… Tiga bulan… Lima bulan… Setahun…
            Jasmin menyerah pada takdir.
            Sudah sebulan sejak Bara pulang kembali ke kotanya. Kembali ke rutinitasnya seperti biasa, kecuali berlari keliling stadion kampus setiap hari Selasa dan Jumat. Rutinitas itu ia ganti dengan rutinitasnya yang baru: duduk di bangku ketiga dari belakang di tribun timur stadion setiap hari Selasa dan Jumat. Tak pernah lagi ia melihat wajah manis berbingkai kacamata itu tersenyum padanya. Yang bisa ia lihat adalah punggung Jasmin yang berjalan menjauhinya. Bara rindu Jasmin. Bara rindu berlari di lintasan itu dan tersenyum pada Jasmin.
            Sudah dua bulan… Tiga bulan… Lima bulan… Setahun…
            Bara membiarkan Jasmin pergi.
***
Setahun sebelumya….
            "Kamu tahu Bara, kan? Atlet lari yang dari teknik itu. Katanya dia cidera pergelangan kaki. Padahal waktu lomba lari di Kalimantan itu, dia hampir sampai garis finish."
            "Oh ya? Kasihan…"
            "Apalagi katanya cidera itu bikin dia nggak bisa berlari lagi."
            Jasmin mendengarkan percakapan kedua atlet yang berpapasan dengannya saat keluar stadion. Jasmin merasa muak pada dirinya sendiri. Mulai hari itulah Jasmin juga berhenti menggambar.
***
Lima tahun kemudian…
            Jasmin kembali lagi ke tempat itu. Stadion yang sama seperti sekitar tujuh tahun yang lalu. Seorang atlet lari yang pernah berlari di lintasan stadion itu, sampai saat ini masih terbayang oleh Jasmin. Ia menghampiri bangku yang dulu biasa dia duduki. Barisan ketiga dari depan di tribun timur stadion kampusnya.
            "Kamu ke sini juga?"
            Jasmin menoleh ke belakang dengan cepat. Seulas senyum segera tersungging di bibirnya. "Bara."
            Bara tersenyum. "Masih suka menggambar?" tanya Bara basa-basi.
            "Nggak. Aku berhenti menggambar sejak kamu berhenti lari di lintasan lari. Apa lagi yang bisa digambar kalau nggak ada kamu di depanku?"
            "Kenapa kamu berhenti datang ke stadion?" Bara bertanya lagi.
            "Karena nggak ada gunanya aku datang ke sini, duduk diam sendiri. Sedangkan kamu malah duduk di belakang sana menatap punggungku dan ngebiarin aku pergi." Jasmin menjawab menggumam.
            "Kamu tahu?"
            "Sangat tahu. Kenapa kamu nggak duduk di sampingku?" Jasmin balas bertanya.
            "Hmm… Karena aku takut kamu kecewa. Kamu kan suka pelari. Sedangkan aku udah nggak mungkin lari lagi."
            Jasmin melotot tidak percaya, lalu melangkah mundur. "Bara! Nggak mungkin lah! Aku suka kamu apa adanya. Bahkan dari dulu."
            Bara menatap Jasmin tepat di bola mata. Tidak percaya. Tapi sesaat kemudian Bara tersenyum dan menarik Jasmin ke pelukannya. "Aku tahu, bahkan dari dulu. Kamu pun tahu aku juga sebaliknya."
            Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari tiga kata yang terucap dari mulut Bara yang berdiri di depan Jasmin. Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari siluet kedua insan manusia yang sesaat lagi akhirnya saling mengikat. Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari anggukan kecil Jasmin dan tawa sekaligus tangis bahagianya.
***
Malam ketika Bara mengantar Jasmin pulang…
            Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, melainkan duduk di sebuah warung makan lesehan sederhana. Sebuah sungai mengalir di kanan bawah mereka.
            "Kenapa kamu suka lari?"
            "Karena saat berlari itu, sepersekian detik sangat berharga buatku. Saat itu, aku bisa merasakan sepatuku punya sayap, hahaha. Setiap kali berlari di lintasan, aku berusaha mencapai finish dengan usahaku sendiri. Dan ya, setiap kali berlari di lintasan, aku selalu membayangkan kamu nunggu aku di garis finish."
            Jasmin tersenyum malu. Tersipu oleh kalimat Bara yang jauh dari gombalan.
            "Kenapa kamu suka banget menggambar?" Bara balas bertanya.
            Jasmin menunduk menatap piringnya yang sudah kosong. "Bagaimana mungkin aku bisa bosan menggambar, kalau yang aku gambar itu kamu, objek terfavoritku."

0 komentar:

Posting Komentar