Ini bukan kisah tentang cinta
segitiga yang terjadi dalam sebuah persahabatan. Ini bukan kisah tentang
seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan yang saling jatuh cinta. Bukan
juga cinta tentang dua orang yang berbeda strata ekonominya. Ini hanya kisah
sederhana tentang dua orang insan manusia yang dipertemukan oleh takdir Tuhan
yang mengatasnamakan kebetulan.
***
Jasmin, adalah seorang mahasiswi Sastra
Inggris di sebuah perguruan tinggi negeri. Otaknya memang cukup cemerlang. Wajah
biasa saja, sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia, rambut sepunggung
dan bergelombang di ujungnya, berkacamata. Hanya sedikit teman yang dekat
dengannya. Dianggap aneh, karena setiap ada waktu luang bersemedi di
perpustakaan universitas. Pendiam. Lugu. Tidak banyak bicara tetapi sebenarnya
pandai berkata-kata. Ia sering memenangkan lomba debat antar-universitas.
Selain ke perpustakaan, hobinya adalah mencorat-coret, maksudnya menulis dan
menggambar. Ah ya, satu lagi hobi yang sudah beberapa bulan terakhir ini
ditekuninya. Menonton atlet lari yang sedang latihan di stadion. Atau lebih
tepatnya, menonton seorang atlet lari yang setiap hari Selasa dan Jumat sore
latihan di stadion kampusnya.
Bara, adalah seorang mahasiswa
teknik di sebuah perguruan tinggi negeri. Cerdas, cukup sering mengikuti
berbagai proyek. Berwajah maskulin dengan rahang yang tegas, kulitnya cukup
bersih untuk ukuran cowok, rambut bergelombang dipotong cepak. Punya banyak
teman dan cukup populer, tapi ia bukan orang yang senang dijadikan pusat
perhatian. Sudah berhenti merokok semenjak ayahnya meninggal karena kanker
paru-paru, ketika ia masih SMA. Kacamata membingkai kedua matanya yang bening
saat ia di depan meja, tetapi di lapangan ia berlari bagaikan puma. Hobi
mengoleksi mainan model. Kamar kost-nya dipenuhi mainan model yang disusun
rapi. Sesekali ia memetik senar gitarnya untuk mengusir penat. Ia adalah atlet
lari andalan di kampusnya. Belakangan ini hobinya bertambah satu lagi, yaitu berkeliling
gedung Sastra Inggris saat ia punya waktu luang.
Waktu itu Jasmin sedang menuruni
anak tangga stadion. Ia baru saja selesai menggambar sketsa stadion saat sepi
pengunjung. Tiba-tiba sebuah tangan berjemari panjang namun kuat mencengkeram
bahunya halus. Jasmin menoleh, dan itulah pertama kalinya ia melihat sosok Bara.
Waktu itu Bara baru saja selesai
latihan lari untuk perlombaan keduanya. Ia sedang mengambil tasnya yang
disembunyikan oleh teman-temannya di bangku stadion bagian belakang, ketika ia
melihat seorang gadis bangkit berdiri. Selembar kertas jatuh dari tumpukan buku
yang dibawa oleh gadis itu. Bara mengejarnya, bermaksud mengembalikan kertas
itu, siapa tahu kertas penting.
Jasmin tidak tahu, detik ketika ia
menoleh pada Bara akan mengubah seluruh cerita hidupnya. Bara tidak tahu, detik
ketika ia menyentuh pundak Jasmin akan mengubah seluruh cerita hidupnya. Jasmin
dan Bara tidak tahu, hobi mereka akan bertambah menjadi beberapa banyak lagi. Bahkan
detik itu, riuh suara buruh gereja menjadi musik terindah bagi mereka yang sedang
jatuh hati. Bahkan detik itu, stadion yang tidak istimewa itu menjadi tempat
paling sakral bagi mereka yang sedang jatuh hati.
"Ini punya kamu?"
"Iya. Makasih."
Detik berikutnya mereka sama-sama
menyesal. Jasmin menyesal karena pergi begitu saja setelah mengucapkan dua
patah kata secara harfiah. Bara menyesal karena ia tidak punya nyali untuk
menanyakan nama gadis itu sebelum ia pergi. Senja itu, jingga cahaya matahari
begitu indah, seindah hati mereka yang sedang jatuh hati.
***
Bara tahu yang dilakukannya ini
sangat konyol. Ini kali kesekian ia berlari di stadion bukan karena akan
diadakan perlombaan. Lomba itu sudah seminggu yang lalu, dan ia menyabet juara
II. Tapi ia punya alasan lain untuk tetap berlari di stadion kampusnya setiap
hari Selasa dan Jumat. Ya, karena gadis itu selalu datang dan duduk di barisan
bangku ketiga dari depan di tribun timur.
Jasmin tahu yang dilakukannya ini
sangat konyol. Ini kali kesekian ia duduk sendirian di stadion bukan karena ia
sedang ingin menggambar. Ia sudah bosan menggambar stadion dan seisinya,
kecuali makhluk atletis yang satu itu. Atlet itulah satu-satunya alasan mengapa
Jasmin selalu memilih duduk di bangku barisan ketiga di tribun timur setiap
Selasa dan Jumat. Karena dari sana, Jasmin bisa melihat pelari itu bermandikan
peluh dilatarbelakangi langit senja dan matahari yang mulai terbenam.
Waktu itu Bara sedang iseng membuka
website kampusnya, dan ia melihat ada foto gadis favoritnya. "Oh, jadi dia
menang lomba debat bahasa Inggris se-Indonesia. Jasmin… Nama yang cantik."
Begitu suara hati Bara berkata.
Jasmin berjalan pulang dari petshop,
mengambil Mochi, kucing kesayangannya. Ia sedang melewati Fakultas Teknik,
ketika tak sengaja dilihatnya banner berukuran cukup besar. Di banner itu ada
foto pelari favoritnya. "Oh, jadi dia juara II lomba lari jarak pendek
se-Indonesia. Bara… Nama yang cocok untuk pelari seperti dia."
***
Setelah sekian belas kali berlari di
stadion tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Bara mulai terbiasa
menyunggingkan senyum ketika berlari lewat depan tribun bagian timur. Setelah
sekian belas kali duduk diam di stadion tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya
Jasmin terbiasa menyunggingkan senyum ketika pelari itu melintas di depannya.
Setelah sekian belas kali, akhirnya….
Setelah sekian puluh kali berlari di
stadion dan tersenyum setiap kali melewati tribun timur tanpa alasan yang masuk
akal, akhirnya Bara berani berhenti berlari dan berjalan menghampiri Jasmin.
Setelah sekian puluh kali duduk diam sendirian di stadion dan tersenyum setiap
kali Bara lewat di depannya tanpa alasan yang masuk akal, akhirnya Jasmin
berani menatap Bara saat Bara menghampirinya. Setelah sekian puluh kali,
akhirnya…
"Hai, Jasmin." sapa Bara,
terpesona.
"Hai, Bara." sapa Jasmin,
terpesona.
Bahkan rumput-rumput di stadion pun
tak berani bergemerisik karena takut mengganggu kedua insan yang saling
terpesona itu.
"Udah mau pulang? Aku antar
ya?" Bara bertanya di luar kesadarannya, masih menatap Jasmin.
Jasmin hanya mengangguk kecil, masih
menatap Bara. Apakah ada yang pernah bilang bahwa cinta bisa menghipnotis dua
insan manusia? Ya, dengan cara itulah cinta bekerja.
Malam itu, Bara dan Jasmin bagaikan
tersihir. Keduanya tidak bisa tidur di kamarnya masing-masing. Bolak-balik, guling
kanan, guling kiri. Ah, sulit sekali tidur ketika bibir terus menyungging
senyum dan kotak tertawa tidak bisa tertutup rapat! Tunggu dulu. Bara merasa
ada yang kurang. Kenapa ia tak meminta nomor handphone Jasmin? Ah, sudahlah.
Itu bisa nanti.
Namun sayangnya, saat hari
seharusnya Jasmin duduk di tempat biasanya, dia tidak di sana. Bukan main
kecewanya hati Bara. Padahal ia sedang bersemangat latihan karena sebentar lagi
akan ada seleksi atlet lari untuk mewakili kampusnya di lomba lari jarak pendek
di Kalimantan. Di hari yang sama, Jasmin menyesal setengah mati karena ia tidak
bisa duduk di bangku biasanya, tribun timur barisan ketiga dari depan. Ia
sedang menghadap dosennya, mempersiapkan lomba debat yang akan diikutinya. Hari
itu alam tak berpihak pada mereka. Hari itu semesta berkonspirasi untuk tidak
mempertemukan mereka. Atau memang skenario Yang Maha Kuasa memang seperti itu
adanya? Yang jelas, senja itu Jasmin dan Bara pulang dengan kepala tertunduk.
Yang satu kecewa, dan yang lain menyesal.
Selama dua minggu Jasmin tidak
pernah punya kesempatan duduk di bangku favoritnya di stadion. Latihan dan
berbagai technical meeting menyita banyak waktunya. Sekali waktu saat hari
Jumat sore, tepat sebelum esok paginya ia harus berangkat ke Surabaya untuk
mengikuti lomba debat, ia datang ke stadion. Stadion hampir ditutup. Memaksa
masuk ke stadion, tetapi tak dilihatnya punggung Bara di lintasan lari.
Akhirnya Jasmin keluar dari stadion, meninggalkan pak penjaga yang sedikit
bersungut-sungut karena tugasnya terhambat.
Selama dua minggu Bara tidak pernah
punya kesempatan melihat wajah manis berbingkai kacamata itu. Semangatnya
terkuras habis tanpa sisa. Sekali waktu saat hari Jumat pagi, tepat sebelum
sorenya ia harus berangkat ke Kalimantan untuk mengikuti lomba lari, ia datang
ke gedung Sastra Inggris. Setelah mencari dan mengintip satu demi satu ruangan,
akhirnya Bara menemukan gadis favoritnya sedang berlatih speech di sebuah kelas
kosong. Berharap mendengar suara Jasmin dan melihat sosoknya dapat mengalirkan
semangatnya untuk berlari esok siang.
***
Sudah sebulan sejak Jasmin pulang
kembali ke kotanya. Kembali ke rutinitasnya seperti biasa, termasuk duduk di
bangku barisan ketiga tribun timur stadion kampus setiap hari Selasa dan Jumat.
Tapi tak pernah ia melihat Bara berlari di lintasan lari itu. Jasmin sangat
rindu pada Bara. Jasmin sangat rindu menggambar punggung sempurna yang berlari
menjauhinya.
Sudah dua bulan… Tiga bulan… Lima
bulan… Setahun…
Jasmin menyerah pada takdir.
Sudah sebulan sejak Bara pulang
kembali ke kotanya. Kembali ke rutinitasnya seperti biasa, kecuali berlari
keliling stadion kampus setiap hari Selasa dan Jumat. Rutinitas itu ia ganti
dengan rutinitasnya yang baru: duduk di bangku ketiga dari belakang di tribun
timur stadion setiap hari Selasa dan Jumat. Tak pernah lagi ia melihat wajah
manis berbingkai kacamata itu tersenyum padanya. Yang bisa ia lihat adalah
punggung Jasmin yang berjalan menjauhinya. Bara rindu Jasmin. Bara rindu
berlari di lintasan itu dan tersenyum pada Jasmin.
Sudah dua bulan… Tiga bulan… Lima
bulan… Setahun…
Bara membiarkan Jasmin pergi.
***
Setahun
sebelumya….
"Kamu tahu Bara, kan? Atlet
lari yang dari teknik itu. Katanya dia cidera pergelangan kaki. Padahal waktu
lomba lari di Kalimantan itu, dia hampir sampai garis finish."
"Oh ya? Kasihan…"
"Apalagi katanya cidera itu
bikin dia nggak bisa berlari lagi."
Jasmin mendengarkan percakapan kedua
atlet yang berpapasan dengannya saat keluar stadion. Jasmin merasa muak pada
dirinya sendiri. Mulai hari itulah Jasmin juga berhenti menggambar.
***
Lima
tahun kemudian…
Jasmin kembali lagi ke tempat itu.
Stadion yang sama seperti sekitar tujuh tahun yang lalu. Seorang atlet lari
yang pernah berlari di lintasan stadion itu, sampai saat ini masih terbayang
oleh Jasmin. Ia menghampiri bangku yang dulu biasa dia duduki. Barisan ketiga
dari depan di tribun timur stadion kampusnya.
"Kamu ke sini juga?"
Jasmin menoleh ke belakang dengan
cepat. Seulas senyum segera tersungging di bibirnya. "Bara."
Bara tersenyum. "Masih suka
menggambar?" tanya Bara basa-basi.
"Nggak. Aku berhenti menggambar
sejak kamu berhenti lari di lintasan lari. Apa lagi yang bisa digambar kalau
nggak ada kamu di depanku?"
"Kenapa kamu berhenti datang ke
stadion?" Bara bertanya lagi.
"Karena nggak ada gunanya aku
datang ke sini, duduk diam sendiri. Sedangkan kamu malah duduk di belakang sana
menatap punggungku dan ngebiarin aku pergi." Jasmin menjawab menggumam.
"Kamu tahu?"
"Sangat tahu. Kenapa kamu nggak
duduk di sampingku?" Jasmin balas bertanya.
"Hmm… Karena aku takut kamu
kecewa. Kamu kan suka pelari. Sedangkan aku udah nggak mungkin lari lagi."
Jasmin melotot tidak percaya, lalu
melangkah mundur. "Bara! Nggak mungkin lah! Aku suka kamu apa adanya.
Bahkan dari dulu."
Bara menatap Jasmin tepat di bola
mata. Tidak percaya. Tapi sesaat kemudian Bara tersenyum dan menarik Jasmin ke
pelukannya. "Aku tahu, bahkan dari dulu. Kamu pun tahu aku juga
sebaliknya."
Langit senja dan seisi stadion yang
nyaris kosong menjadi saksi dari tiga kata yang terucap dari mulut Bara yang
berdiri di depan Jasmin. Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong
menjadi saksi dari siluet kedua insan manusia yang sesaat lagi akhirnya saling
mengikat. Langit senja dan seisi stadion yang nyaris kosong menjadi saksi dari
anggukan kecil Jasmin dan tawa sekaligus tangis bahagianya.
***
Malam
ketika Bara mengantar Jasmin pulang…
Mereka tidak langsung pulang ke
rumah masing-masing, melainkan duduk di sebuah warung makan lesehan sederhana.
Sebuah sungai mengalir di kanan bawah mereka.
"Kenapa kamu suka lari?"
"Karena saat berlari itu,
sepersekian detik sangat berharga buatku. Saat itu, aku bisa merasakan sepatuku
punya sayap, hahaha. Setiap kali berlari di lintasan, aku berusaha mencapai
finish dengan usahaku sendiri. Dan ya, setiap kali berlari di lintasan, aku
selalu membayangkan kamu nunggu aku di garis finish."
Jasmin tersenyum malu. Tersipu oleh
kalimat Bara yang jauh dari gombalan.
"Kenapa kamu suka banget
menggambar?" Bara balas bertanya.
Jasmin menunduk menatap piringnya
yang sudah kosong. "Bagaimana mungkin aku bisa bosan menggambar, kalau
yang aku gambar itu kamu, objek terfavoritku."
0 komentar:
Posting Komentar